KONSEP DASAR ASURANSI SYARIAH
Indonesia
merupakan Negara, dimana mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam.
Namun demikian, perkembangan produk-produk dengan prinsip syariah baru
berkembang kurang lebih 3-4 tahun yang lalu, salah satunya adalah produk
asuransi syariah.
Setelah itu, asuransi berbasis syariah mulai
digarap oleh beberapa perusahaan dengan pendirian divisi syariah. Dengan terus
berkembangnya produk-produk berbasis syariah, maka kami melihat pentingnya
untuk memperkenalkan secara khusus produk asuransi syariah.
Sebelum masuk prinsip-prinsip dan mekanisme
produk tersebut, banyak kalangan muslim yang beranggapan bahwa berasuransi
adalah haram. Apakah benar? Ikut pembahasannya dibawah ini.
Asuransi Tidak Islami?
Sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama
dengan menentang qodlo dan qadar atau bertentangan dengan takdir. Pada dasarnya
Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir
Allah. Hal ini tidak dapat ditolak. Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan
untuk membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr: 18
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah
dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari
esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesunguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang engkau kerjakan”.
Jelas sekali dalam ayat ini kita dipertintahkan untuk
merencanakan apa yang akan kita perbuat untuk masa depan.
Dalam Al Qur’an, surat
Yusuf :43-49, Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem
proteksi menghadapai kemungkinan yang buruk dimasa depan. Secara ringkas, ayat
ini bercerita tentang pertanyaan raja mesir tetang mimpinya kepada Nabi Yusuf.
Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan
oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga melihat tujuh tangkai gandum yang
hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah mengering tidak berbuah.
Nabi Yusuf dalam hal ini menjawab supaya kamu bertanam
tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu
akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan
untuk menghadapapi masa sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan.
Sangat jelas dalam ayat ini kita dianjurkan untuk berusaha
menjaga kelangsungan kehidupan dengan meproteksi kemungkinan terjadinya kondisi
yang buruk. Dan sangat jelas ayat diatas menyatakan bahwa berasurnasi tidak
bertentangan dengan takdir, bahkan Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju
kepada perencanaan masa depan dengan sisitem proteksi yang dikenal dalam
mekanisme asuransi.
Jadi, jika sistem proteksi atau asuransi dibenarkan,
pertanyaan selanjutnya adalah: apakah asuransi yang kita kenal sekarang
(asuransi konvensional) telah memenuhi syarat-syarat lain dalam konsep muamalat
secara Islami. Dalam mekanisme asuransi konvensional terutama asuransi jiwa,
paling tidak ada tiga hal yang masih diharamkan oleh para ulama, yaitu: adanya
unsur gharar (ketidak jelasan dana), unsur maisir (judi/ gambling) dan riba
(bunga). Ketiga hal ini akan dijelaskan dalam penjelasaan rinci mengenai
perbedaan antara asuransi konvensional dan syariah.
Asuransi Konvensional Dan Syariah
Asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional
mempunyai tujuan sama yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan
mendasar antara keduanya adalah cara pengelolaannya pengelolaan risiko
asuransi konvensional berupa transfer risiko dari para peserta kepada
perusahaan asuransi (risk transfer) sedangkan asuransi jiwa syariah
menganut azas tolong menolong dengan membagi risiko diantara peserta asuransi
jiwa (risk sharing).
Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada perbedaan
cara mengelola unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi
jiwa syariah menganut investasi syariah dan terbebas dari unsur ribawi
Secara rinci perbedaan antara asuransi jiwa syariah dan
asuransi jiwa konvensional dapat dilihat pada uraian berikut :
Kontrak Atau Akad
Kejelasan kontrak atau akad dalam praktik muamalah menjadi prinsip karena akan
menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian pula dengan kontrak
antara peserta dengan perusahaan asuransi. Asuransi konvensional menerapkan
kontrak yang dalam syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli).
Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak
jual-beli. Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan
karena bergantung terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tau kapan
kita meninggal mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut
gharar —ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran
harta benda dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum
Sehingga dalam asuransi jiwa syariah kontrak yang digunakan
bukan kontrak jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takafuli).
Jadi asuransi jiwa syariah menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak
tabarru yang dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini
adalah alternatif uang sah dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik
yang diharamkan pada asuransi konvensional.
Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan
dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang
lain sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena
musibah. Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khsusus,
dimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana
tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong
menolong.
Kontrak Al-Mudharabah
Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru’ merupakan
hibah yang dialokasikan bila terjadi musibah. Sedangkan unsur di dalam asuransi
jiwa bisa juga berupa tabungan. Dalam asuransi jiwa syariah, tabungan atau
investasi harus memenuhi syariah.
Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah
cirinya dimana perusahaan asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari
para peserta. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara
dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian
si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepkati didepan sehingga bila terjadi
keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut.
Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60
persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari
keuntungan.
Dalam kaitannya dengan investasi, yang merupakan salah satu
unsur dalam premi asuransi, harus memenuhi syariah Islam dimana tidak mengenal
apa yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional menginvestasikan
dananya dengan mekanisme bunga.
Dengan demikian asuransi konvensional susah untuk
menghindari riba. Sedangkan asuransi syariah daolam berinvestasi harus
menyimpan dananya ke berbagai investasi berdasarkan syariah Islam dengan sistem
al-mudharabah.
Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus,
dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan
diri sebelum masa jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional
non-saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis
msa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan
hangus atau menjadi keuntungan perusahaan asuransi.
Dalam konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak
mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun karena satu dan
lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah
dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah
diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.
Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika
habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan
sebagian dari premi tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30
sesuai dengan kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin
premi yang dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat
bergantung dengan tingkat investasi pada tahun tersebut.
Manfaat Asuransi Syariah
Asuransi syariah dapat menjadi alterntif pilihan proteksi bagi pemeluk agama
Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga
bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah adil
bagi mereka.
Syariah adalah sebuah prinsip atau sistem yang ber-sifat
universal dimana dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga yang berminat.
Demikianlah sekilas ulasan mengenai asuransi syariah. Semoga ulasan ini
menambah wawasan dan pengetahuan anda.
FILOSOFIS ISLAM
filosofis ekonomi Islam menurut Adiwarman Karim, terbagi atas empat hal,
yaitu :
Pertama, prinsip tauhid, yaitu dimana kita meyakini akan
kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah SWT didalam mengatur segala sesuatunya,
termasuk mekanisme perolehan rizki. Sehingga seluruh aktivitas, termasuk
ekonomi, harus dilaksanakan sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah SWT
secara total.
Yang kedua, prinsip keadilan dan keseimbangan, yang menjadi dasar
kesejahteraan manusia. Karena itu, setiap kegiatan ekonomi haruslah senantiasa
berada dalam koridor keadilan dan keseimbangan. Kemudian
Yang ketiga adalah kebebasan. hal ini berarti bahwa setiap manusia memiliki
kebebasan untuk melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada
ketentuan Allah SWT yang melarangnya.
Selanjutnya yang keempat adalah pertanggungjwaban. Artinya bahwa manusia
harus memikul seluruh tanggung jawab atas segala keputusan yang telah
diambilnya
Embrio Asuransi Syariah - Sejarah Perlindungan Insan Dalam Islam
A. Definisi AttaÂ’min Dari Segi Bahasa
Dalam bahasa Arab, Asuransi disebut AttaÂ’min ( التأمين ) yang berasal dari
kata ( أمن ) yang memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan
bebas dari rasa takut, sebagaimana firman Allah SWT :
'Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan.'
Dari kata ( أمن ) diatas yang merupakan kata dasar ( التأمين ), muncul
kata-kata lain yang secara artinya memiliki kemiripan, yaitu :
• ( الأَمَنَةُ مِنَ الْخَوْفِ ) aman dari rasa takut.
• ( الأَمَانَةُ ضِدُّ الْخِيَانَةِ ) amanah lawan kata dari khianat.
• ( اْلإِيْمَانُ ضِدُّ الْكُفْرِ ) iman lawan dari kekufuran.
• ( إِعْطَاءُ اْلأَمَنَةَ/ اْلأَمْنَ ) memberi rasa aman.
Arti yang terakhir yang paling dekat untuk menerjemahkan istilah attaÂ’min, yaitu
: MentaÂ’minkan sesuatu, artinya seseorang membayar/ menyerahkan uang cicilan
agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah
disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.
- Asuransi Syariah (TaÂ’min, Takaful
atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara
sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/ atau
tabarruÂ’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko
tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
- Akad yang sesuai dengan
syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir
(perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan
maksiat.
- (Menurut Dewan Syariah
Nasional MUI, dalam Fatwa DSN No. 21/ DSN-MUI/IX/2001)
B. Asal Mula Asuransi Syariah
1)Al-Aqila
- Al-Aqilah yaitu saling
memikul atau bertanggung jawab untuk keluarganya. Jika salah seorang dari
anggota suatu suku terbunuh oleh anggota satu suku yang lain, maka pewaris
korban akan dibayar dengan uang darah (diyat) sebagai konpensasi oleh
saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut
aqilah. Lalu mereka mengumpulkan dana (al-kanzu) yang diperuntukkan
membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak disengaja.
- Ibnu Hajar Al-Asqolani
mengemukakan bahwa sistem Aqilah ini diterima dan menjadi bagian dari
hukum Islam. Hal ini terlihat dari hadits yang menceritakan pertengkaran
antara dua wanita dari suku Huzail, dimana salah seorang dari mereka
memukul yang lainnya dengan batu hingga mengakibatkan kematian wanita
tersebut dan juga bayi yang sedang dikandungnya. Pewaris korban membawa
permasalahan tersebut ke Pengadilan. Rasulullah memberikan keputusan bahwa
konpensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan budak, baik
laki-laki maupun wanita. Sedangkan konpensasi atas membunuh wanita adalah
uang darah (diyat) yang harus dibayar oleh Aqilah (saudara pihak ayah)
dari yang tertuduh.
- Al-Muwalat yaitu perjanjian
jaminan, dimana seorang penjamin menjamin seseorang yang tidak memiliki
waris dan tidak dikeketahui ahli warisnya. Penjamin setuju untuk
menanggung bayaran dia, jika orang yang dijamin tersebut melakukan
jinayah. Apabila orang yang dijamin meninggal, maka penjamin boleh
mewarisi hartanya sepanjang tidak ada ahli warisnya.(Az ZarqaÂ’ dalam
Aqdud TaÂ’min).
- Yaitu sebuah konsep
perjanjian yang berhubungan dengan manusia. Sistem ini melibatkan usaha
pengumpulan dana dalam sebuah tabungan atau pengumpulan uang iuran dari
peserta atau majlis. Manfaatnya akan dibayarkan kepada ahli waris yang
dibunuh jika kasus pembunuhan itu tidak diketahui siapa pembunuhnya atau
tidak ada keterangan saksi yang layak untuk benar-benar secara pasti
mengetahui siapa pembunuhnya.
2) At-Tanahud
- Tanahud merupakan
ibarat dari makanan yang dikumpulkan dari para peserta safar yang
dicampur menjadi satu. Kemudian makanan tersebut dibagikan pada saatnya
kepada mereka, kendati mereka mendapatkan porsi yang berbeda-beda.
- Dalam sebuah riwayat
disebutkan, "Marga AsyÂ’ari (AsyÂ’ariyin) ketika keluarganya
mengalami kekurangan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka
miliki dalam satu kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara
merata. Mereka adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari
mereka." (HR. Bukhari)
- Dalam kasus ini, makanan
yang diserahkan bisa jadi sama kadarnya atau berbeda-beda. Begitu halnya
dengan makanan yang diterima, bisa jadi sama porsinya atau berbeda-beda.
3) Aqd Al-hirasah
- Yaitu kontrak pengawal
keselamatan. Di dunia Islam terjadi berbagai kontrak antar individu,
misalnya ada individu yang ingin selamat lalu ia membuat kontrak dengan
seseorang untuk menjaga keselamatannya, dimana ia membayar sejumlah uang
kepada pengawal, dengan konpensasi kemanannya akan dijaga oleh pengawal.
4) Dhiman Khatr Thariq
- Kontrak ini merupakan
jaminan keselamatan lalu lintas. Para
pedagang muslim pada masa lampau ingin mendapatkan perlindungan
keslamatan, lalu ia membuat kontrak dengan orang-orang yang kuat dan
berani di daerah rawan. Mereka membayar sejumlah uang, dan pihak lain
menjaga keselamatan perjalanannya.
C. Cikal Bakal Asuransi Syariah
1) Bentuk-bentuk muamalah di atas (Al-Aqilah, Al-Muwalah, At-Tanahud, dsb)
karena memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi Islam, oleh sebagian
ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang
dikelola secara profesional. Bedanya, sistem muamalah tersebut didasari atas
amal tathawwu dan tabarru yang tidak berorientasi pada profit.
2) Kemudian secara syakliyah, bentuk-bentuk akad di atas memang memiliki kemiripan
dengan asuransi, meskipun beberapa diantaranya dipertanyakan 'pengakuan' Islam
terhadap akad tersebut. Seperti Al-Muwalat, yang sebenarnya merupakan satu
sistem pewarisan dalam pola kehidupan jahiliyah, yang pada masa peralihan zaman
permulaan Islam memang diakui. Namun kemudian Islam menetapkan sistim
mawarisnya sendiri sehingga akad tersebut tidak mempunyai wujud lagi.
3) Lalu pada Aqilah, yang justru 'pembayar premi' tidak mendapatkan 'manfaat'
dari preminya tersebut, karena diperuntukkan bagi orang lain. Hal ini
menunjukkan terdapat perbedaan syakliyah antara asuransi dengan Aqilah. Hal
serupa juga terjadi pada akad Dhaman Khatr Tariq, dimana penjamin memberikan
jaminannya secara sukarela, dan tidak berdasarkan 'premi' yang dibayar oleh
terjamin.
D. Antara Akad-Akad Islam Dengan Sistem Asuransi
- Kendati akad-akad di
atas memiliki beberapa kemiripan dengan sistem asuransi, namun
sesungguhnya secara syakliyah terdapat perbedaan-perbedaan mendasar yang
cukup membedakannya dengan asuransi.
- Harus diakui bahwa
dunia Islam baru berkenalan dengan asuransi pada sekitar abad ke 19,
ketika terjadi penjajahan Dunia Barat terhadap negeri-negeri Islam.
- Oleh karenanya
sesungguhnya asuransi merupakan sesuatu yang baru dan asing di kalangan
muslim. Dan secara karakter, asuransi sangat kental dengan karakteristik
negeri tumbuh dan berkembangnya yang tentunya sangat berbeda dengan
karakter Muamalah Islamiyah.
- Namun bukan berarti
bahwa hal tersebut secara hukum Islam tidak sah dan tidak diperbolehkan.
Karena dalam masalah muamalah pada prinsipnya yang penting tidak
melanggar atau bertentangan dengan prinsip syariah. Kaidah syariah
mengatakan :
"Pada dasarnya hukum sesuatu itu adalah boleh, hingga ada dalil yang
menunjukkan pengharamannya".
E. Pembicaraan Pertama Asuransi Dalam Kitab Klasik
- Ibnu Abidin
(1784–1836) dianggap orang pertama di kalangan fuqoha yang mendiskusikan
masalah asuransi. Ibnu Abidin adalah seorang ulama bermazhab Hanafi, yang
mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu
Hasyiyah Ibn Abidin, Bab Jihad, Fashl Isti'man Al-Kafir.
- Beliau menulis,
"Telah menjadi kebiasaan bila para pedagang menyewa kapal dari
seorang harby, mereka membayar upah pengangkutannya. Ia juga membayar
sejumlah uang untuk seorang harby yang berada di negeri asal penyewa
kapal, yang disebut sebagai sukarah (premi asuransi) dengan ketentuan
bahwa barang-barang pemakai kapal yang disewanya itu, apabila musnah
karena kebakaran, tenggelam, dibajak atau sebagainya, maka penerima uang
premi asuransi itu menjadi penanggung sebagai imbalan uang yang diambil
dari pedagang itu. Apabila barang-barang mereka terkena masalah
yangdisebutkan di atas, maka si wakillah yang membayar kepada para
pedagang itu sebagai uang pengganti sebesar junlah uang yang pernah diterimanya.
F. Mencari Alternatif Asuransi Islami
- Pada hakekatnya
manusia merupakan keluarga besar kemanusiaan. Untuk dapat meraih
kehidupan bersama, manusia harus saling tolong menolong dan saling
menanggung antara yang satu dengan yang lain.
- Sistem At-Takaful,
yaitu saling menanggung antara sesama manusia, merupakan dasar pijakan
bagi kegiatan manusia bagi kegiatan menusia sebagai makhluk sosial.
- Dengan dasar pijakan
'takaful' dalam berasuransi, akan terwujud hubungan yang Islami diantara
para pesertanya yang bersepakat untuk menanggung bersama atas risiko yang
diakibatkan musibah, seperti kebakaran atau lainnya.
- Semangat bertakaful
menekankan pada kepentingan bersama atas dasar rasa persaudaraan diantara
para peserta. Sifat mengutamakan kepertingan pribadi atau dorongan
mendapatkan keuntungan semata-mata, dihilangkan seminimal mungkin dalam
asuransi syariah.
G. Berasuransi Syariah Mengamalkan Hadits Ukhuwah
Dalam sebuah riwayat digambarkan:
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ
سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه مسلم)
"Dari Nu'man bin Basyir ra, Rasulullah SAW bersabda, Perumpamaan
persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih sayang diantara mereka adalah
seumpama satu tubuh. Bilamana salah satu bagian tubuh merasakan sakit, maka
akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lainnya, seperti ketika tidak bisa tidur
atau ketika demam." (HR. Muslim)
Hadits ini menggambarkan tentang adanya saling tolong menolong dalam masyarakat
Islami. Dimana digambarkan keadaannya seperti satu tubuh; jika ada satu anggota
masyarakat yang sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Minimal dengan
menjenguknya, atau bahkan memberikan bantuan. Dan terkadang bantuan yang
diterima, jumlahnya melebihi biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan. Sehingga
terjadilah surplus, yang minimal dapat mengurangi beban penderitaan orang yang
terkena musibah. Hadits ini menjadi dasar filosofi tegaknya sistem Asuransi
Syariah.
Rikza Maulan Lc MA
Sekretaris Dewan Pengawas Syariah
Nilai-Nilai Dalam Pengelolaan Asuransi Syariah
Asuransi syariah
merupakan salah satu intrumen transaksi, yang secara sistem operasional
disesuaikan dengan syariah Islam. Sehingga akad, mekanisme pengelolaan dana,
mekanisme operasional perusahaan, budaya perusahaan (shariah corporate
culture), marketing, produk dsb harus sesuai dengan syariah. Namun yang perlu
digaris bawahi juga adalah, bahwa asuransi syariah tidak semata-mata harus menjalankan
sistem operasionalnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Namun lebih dari
itu, ia juga harus mengimplementasikan suatu nilai yang menjadi “jantung” dari
prinsip-prinsip syariah.
Berpegang pada nilai-nilai
ini sangat penting. Karena nilai-nilai inilah sesusungguhnya yang merupakan ruh
dari sistem operasional yang dilakukan secara syariah. Hilangnya nilai-nilai
ini akan berdampak pada hiilangnya “ruh” dari syariah. Sebagai contoh dalam
aspek hubungan mudharabah, dimana terdapat dua pihak ; shahibul maal (pemilik
modal), dan mudharib (pengusaha). Shahibul maal meminta kepada mudharib untuk
mengelola dananya, namun dengan syarat bahwa nisbah bagi hasil yang akan
dihasilkan dibagi dua 90% untuk shahibul maal dan 10% untuk mudharib. Secara
fiqh, akad mudharabah yang dilakukan oleh kedua belah pihak di atas adalah sah.
Karena telah memenuhi semua rukun dan syarat akad mudharabah. Namun secara
“nilai”, akad tersebut cacat karena tidak memberikan porsi keadilan bagi
mudharib. Mudharib hanya mendapatkan keuntungan 10% sementara shahibul maal
90%. Untuk itulah, dalam menjalankan usaha asuransi syariah, juga sangat
diperlukan tegaknya nilai-nilai syariah, agar operasional asuransi syariah
benar-benar mencerminkan ruh syariah yang sesungguhnya. Berikut adalah 10 nilai
yang mendasar dalam pengelolaan asuransi syariah, yaitu :
1. Prinsip Tauhid
Tauhid merupakan prinsip
dasar dalam asuransi syariah. Karena pada haekekatnya setiap muslim harus
melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya,
tidak terkecuali dalam bermuamalah (baca ; berasuransi syariah). Artinya
bahwa niatan dasar ketika berasuransi syariah haruslah berlandaskan pada
prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT. Sebagai contoh dilihat
dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi syariah bukanlah
semata-mata meraih keuntungan, atau menangkap peluang pasar yang sedang
cenderung pada syariah. Namun lebih dari itu, niatan awalnya adalah untuk
mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam dunia asuransi. Sedangkan dari
sisi nasabah, berasuransi syariah adalah bertujuan untuk bertransaksi dalam
bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah, dan bukan semata-mata
mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan demikian, maka nilai
tauhid terimplementasikan pada industri asuransi syariah. Allah SWT
berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan
manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51 : 56)
2. Prinsip Keadilan
Prinsip kedua yang menjadi nilai-nilai dalam pengimplementasian asuransi
syariah adalah prinsip keadilan. Artinya bahwa asuransi syariah harus
benar-benar bersikap adil, khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah
dengan nasabah, maupun antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah,
terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing. Asuransi syariah tidak boleh
mendzalimi nasabah dengan hal-hal yang akan menyulitkan atau merugikan nasabah.
Ditinjau dari sisi asuransi sebagai sebuah perusahaan, potensi untuk
melakukan ketidak adilan sangatlah besar. Seperti adanya unsur dana hangus
(pada saving produk), dimana nasabah yang sudah ikut asuransi (misalnya
asuransi pendidikan) dengan periode tertentu, namun karena suatu hal ia
membatalkan kepesertaannya di tengah jalan. Pada asuransi syariah,
dana
saving nasabah yang telah dibayarkan melalui premi harus dikembalikan
kepada nasabah bersangkutan, berikut hasil investasinya. Bahkan terkadang
asuransi syariah merasa kebingungan ketika terdapat dana-dana saving nasabah
yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi, lalu
tidak mengambil dananya tersebut kendatipun telah dhubungi baik melalui
surat maupun melalui
media lainnya. Mau dikemanakan dana ini? Karena dana tersebut bukanlah milik
asuransi syariah, namun milik nasabah. Namun telah bertahun-tahun diberitahu atau
dihubungi, nasabah bersangkutan tidak juga mengambilnya. Hal ini tentu berbeda
dengan asuransi pada umumnya. Allah SWT berfirman :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah/ 5 :
08)
3. Prinsip Tolong Menolong
Semangat tolong menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam
operasional asuransi syariah. Karena pada hekekatnya, konsep asuransi syariah
didasarkan pada prinsip ini. Dimana sesama peserta bertabarru’ atau berderma
untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah tidaklah
berderma kepada perusahaan asuransi syariah, peserta berderma hanya kepada
sesama peserta saja. Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai pengelola
saja. Konsekwensinya, perusahaan tidak berhak mengklaim atau mengambil dana
tabarru’ nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan dari ujrah (fee) atas pengelolaan
dana tabarru’ tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan
pembayaran kontribusi (premi). Perusahaan asuransi syariah mengelola dana
tabarru’ tersebut, untuk diinvestasikan (secara syariah) lalu kemudia
dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Dan dengan konsep
seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah mengimplementasikan saling
tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak saling bertatap muka. Allah SWT
berfirman :
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا
عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan bertolong
menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian bertolong
menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah : 2)
4. Prinsip Kerjasama
Antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah terjalin kerjasama,
tergantung dari akad apa yang digunakannya. Dengan akad mudharabah musytarakah
(nanti akan dijelaskan tersendiri mengenai akad ini dalam pembahasan khusus
akad), terjalin kerjasama dimana nasabah bertindak sebagai shahibul maal
(pemilik modal) sedangkan perusahaan asuransi syariah sebagai mudharib
(pengelola/ pengusaha). Apabila dari dana tersebut terdapat keuntungan, maka
akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati, misalnya 40% untuk
perusahaan asuransi syariah dan 60% untuk nasabah. Ketika kerjasama terjalin
dengan baik, nasabah menunaikan hak dan kewajibannya, demikian juga perusahaan
asuransi syariah menunaikan hak dan kewajibannya secara baik, maka akan terjalin
pola hubungan kerjasama yang baik pula, yang insya Allah akan membawa
keberkahan pada kedua belah pihak.
5. Prinsip Amanah
Amanah juga merupakan prinsip yang sangat penting. Karena pada hakekatnya
kehidupan ini adalah amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkan dihadapan
Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam mengelola dana premi.
Demikian juga nasabah, perlu amanah dalam aspek resiko yang menimpanya. Jangan
sampai nasabah tidak amanah dalam artian mengada-ada sesuatu sehingga yang seharusnya
tidak klaim menjadi klaim yang tentunya akan berakibat pada ruginya para
peserta yang lainnya. Perusahaan pun juga demikian, tidak boleh
semena-mena dalam mengambil keuntungan, yang berdampak pada ruginya nasabah.
Dan transaksi yang amanah, akan membawa pelakunya mendapatkan surga. Rasulullah
SAW bersabda :
التَّاجِرُ الصَّدُوْقُ اْلأَمِيْنُ مَعَ
النَّبَيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاء (رواه الترمذي)
Seorang pebisnis
yang jujur lagi amanah, (kelak akan dikumpulkan di akhirat) bersama para nabi,
shiddiqin dan syuhada’. (HR. Turmudzi)
6. Prinsip Saling Ridha (‘An Taradhin)
Dalam transaksi apapun, aspek
an taradhin atau saling
meridhai harus selalu menyertai. Nasabah ridha dananya dikelola oleh
perusahaan asuransi syariah yang amanah dan profesional. Dan perusahaan
asuransi syariah ridha terahdap amanah yang diembankan nasabah dalam mengelola
kontribusi (premi) mereka. Demikian juga nasabah ridha dananya dialokasikan
untuk nasbah-nasabah lainnya yang tertimpa musibah, untuk meringankan beban penderitaan
mereka. Dengan prinsip inilah, asuransi syariah menjadikan saling tolong
menolong memiliki arti yang luas dan mendalam, karena semuanya menolong dengan
ikhlas dan ridha, bekerjasama dengan ikhlas dan ridha, serta bertransaksi
dengan ikhlas dan ridha pula.
7. Prinsip Menghindari Riba
Riba merupakan bentuk transaksi yang harus dihindari sejauh-jauhnya
khususnya dalam berasuransi. Karena riba merupakan sebatil-batilnya transaksi
muamalah. Tingkatan dosa paling kecil dari riba adalah ibarat berzina dengan
ibu kandungnya sendiri (baca dahsyatnya dosa-dosa riba, dalam blog ini).
Kontribusi (premi) yang dibayarkan nasabah, harus diinvestasikan pada investasi
yang sesuai dengan syariah dan sudah jelas kehalalannya. Demikian juga dengan
sistem operasional asuransi syariah juga harus menerapakan konsep
sharing
of risk yang bertumpu pada akad tabarru’, sehingga menghilangkan unsur
riba pada pemberian manfaat asuransi syariah (klaim) kepada nasabah.
8. Prinsip Menghindari Maisir.
Asuransi jika dikelola secara konvensional akan memunculkan unsur maisir
(gambling). Karena seorang nasabah bisa jadi membayar premi hingga belasan kali
namun tidak pernah klaim. Di sisi yang lain terdapat nasabah yang baru satu
kali membayar premi lalu klaim. Hal ini terjadi, karena konsep dasar yang
digunakan dalam asuransi konvensional adalah konsep
transfer of risk.
Dimana perusahaan asuransi konvensional ketika menerima premi, otomatis premi
tersebut menjadi milik perusahaan, dan ketika membayar klaim pun adalah dari
rekening perusahaan. Sehingga perusahaan bisa untung besara (makala premi
banyak dan klaim sedikit), atau bisa rugi banyak (ketika premi sedikit dan
klaimnya banyak).
9. Prinsip Menghindari Gharar
Gharar adalah ketidakjelasan. Dan berbicara mengenai resiko, adalah berbicara
tentang ketidak jelasan. Karena resiko bisa terjadi bisa tidak. Dan dalam
syariat Islam, kita tidak diperbolehkan bertransaksi yang menyangkut aspek
ketidak jelasan. Dalam asuransi (konvensional), peserta tidak mengetahui apakah
ia mendapatkan klaim atau tidak? Karena klaim sangat bergantung pada resiko
yang menimpanya. Jika ada resiko, maka ia akan dapat klaim, namun jika tidak
maka ia tidak mendapakan klaim. Hal seperti ini menjadi gharar adanya, karena
akad atau konsep yang digunakan adalah transfer of risk. Sedangkan jika
menggunakan aspek sharing of risk, ketidak jelasan tadi tidak menjadi gharar.
Namun menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai, yang apabila terjadi sesama
nasabah akan saling bantu membantu terhadap peserta lainnya yang tertimpa musibah,
yang diambil dari dana tabarru’ yang dikelola oleh perusahaan asuransi syariah
(bukan dari dana perusahaan).
10. Prinsip Menghindari Risywah
Dalam menjalankan bisnisnya, baik pihak asuransi syariah maupun pihak
nasabah harus menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari aspek risywah (sogok menyogok
atau suap menyuap). Karena apapun dalihnya, risywah pasti akan menguntungkan
satu pihak, dan pasti akan ada pihak lain yang dirugikan. Nasabah umpamanya
tidak boleh menyogok oknum asuransi supaya bisa mendapatkan manfaaat (klaim).
Atau sebaliknya perusahaan tidak perlu menyogok supaya mendapatkan premi
(kontribusi) asuransi. Namun semua harus dilakukan secara baik, transparan,
adil dan dilandasi dengan ukhuwah islamiyah.
Inilah sepuluh prinsip dasar dalam mekanisme pengelolaan asuransi syariah.
Dan alangkah indahnya sepuluh prinsip ini, apabila diimplementasikan secara
baik dalam asuransi syariah. Dan setelah membaca sepuluh prinsip ini, tidakkah
anda tertarik untuk berasuransi secara syariah…?
Wallahu A’lam bis shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag
February 13, 2010 |
Author:
MIRA TANIYA |
Filed under: Artikel
Asuransi Syariah
Definisi asuransi syari’ah menurut Dewan Syariah Nasional adalah usaha untuk
saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang melalui investasi
dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko/bahaya tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah adalah usaha
saling melindung dan saling menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian
untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan
Syariah. Asuransi Syariah merupakan salah satu sistem ekonomi berbasis Islam
yang bersifat Universal dan berlaku untuk semua kenyakinan dan golongan
masyarakat. Asuransi Syariah tidak mengandung hal-hal seperti ketidakpastian,
perjudian, riba, penganiayaan, suap, barang haram dan maksiat.
Asuransi syari’ah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang artinya
tolong menolong atau saling membantu . Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
Asuransi ta’awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran
terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana
yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al
Maidah ayat 2, yang artinya : “Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan
ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan”
Asuransi yang selama ini
digunakan oleh mayoritas masyarakat (non syariah) bukan merupakan asuransi yang
dikenal oleh para pendahulu dari kalangan ahli fiqh, karena tidak termasuk
transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam, dan tidak pula dari kalangan para
sahabat yang membahas hukumnya.
Perbedaan sistem yang
paling mendasar antara asuransi Islam dengan sistem asuransi konvensional.
1. Asuransi konvensional hanya
mengenal atau memberlakukan klaim dari pemegang polis, misalnya kecelakaan,
kematian atau hal-hal yang tidak diinginkan dan semua itu sudah tertulis
kesepakatannya dalam akad. Konsekwensinya, jika pemegang polis tidak tertimpa
musibah, semasa akad masih berlangsung, maka pemegang polis tidak dapat
mengklaimnya. Sistem ini mengundang pemegang polis yang nakal dengan menyiasati
untuk mendapatkan klaim yang besar dibanding dana yang telah diasuransikan.
Penyiasatan ini mengiring rekayasa tertentu, seperti upaya pembakaran bahkan
membunuh meski tidak dilakukan secara langsung oleh pemegang polis.Praktek
rekayasa tersebut merupakan tindakan kriminal yang berarti melanggar hukum,
bahkan sangat menodai harkat dan martabat manusia. Sebab korban yang menderita,
bukan hanya perusahaan asuransi, tetapi juga anggota masyarakat yang mungkin
tidak pernah berhubungan dengan lembaga asuransi.Sementara, jika jenis produk
asuransinya tidak terkait dengan peristiwa seperti kematian, kebakaran,
kecelakaan atau musibah, maka pemegang polis asuransi konvensional, juga tidak
dapat menikmati pengembalian dana kewajibannya selama belum melewati
waktu-waktu yang telah ditentukan. Juga, jika pemegang polis tidak dapat
meneruskan kewajibannya, maka dana yang telah disetorkan menjadi hangus.Prinsip
dasar asuransi konvensional tersebut, jelas berbeda dengan asuransi
syari’ah.
2.
Prinsip dasar asuransi takaful
syari’ah berangkat dari sebuah filosofi bahwa manusia berasal dari satu
keturunan, Adam dan Hawa. Dengan demikian, manusia pada hakikatnya merupakan
keluarga besar. Untuk dapat meraih kehidupan bersama, sesama manusia harus
tolong menolong (ta’awun) dan saling berbuat kebajikan (tabarru) dan saling
menanggung (takaful). Prinsip ini merupakan dasar pijakan bagi kegiatan manusia
sebagai makhluk sosial. Dari pijakan filosofis ini, setidaknya ada tiga prinsip
dasar dalam asuransi syari’ah, yaitu saling bertanggung jawab, saling bekerja
sama dan saling melindungi penderitaan satu sama lain.
Asuransi Keuntungan
Syariah
Asuransi Islam menggariskan
keuntungan yang sangat berbeda dengan asuransi konvensional, yaitu, pemegang
polis diposisikan sebagai penabung, maka secara hukum, dana yang diasuransikan,
sama dengan tabungannya juga. Dengan posisinya sebagai tabungan, maka ada dua
keuntungan yang dapat dipetik langsung. Pertama, dana asuransi
Islam bagi masing-masing pemegang polis akan mendapat nilai tambahan. Nilai
tambahan ini bukan bunga, tetapi bagi hasil dari sistem mudharabah yang
merupakan manfaat finansial atas kebijakan kerjasama asuransi syari’ah dengan
bank syari’ah.Dalam hal ini, pihak asuransi syari’ah, menitipkan dana para
pemegang polis sebagai instrumen investasi yang dikelola lembaga keuangan
syari’ah, misalnya Bank syari’ah atau reksa dana syari’ah.Untuk konteks
ini premi yang dimaksud adalah premi tabungan. Sementara dalam sistem Bank
Syari’ah terdapat ketentuan bahwa siapapun yang ikut serta dalam proyek usaha,
ia akan mendapatkan bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh dari kerjasama
itu. Karena itu para pemegang polis, berhak menikmati bagian keuntungan yang
dicapai Bank Syari’ah.Jika kita telaah penambahan dana asuransi yang dinikmati
para pemegang polis, merupakan buah nyata kebijakan kemitraan atau kerjasama
antara Asuransi Syari’ah dan Bank Syari’’ah. Hal ini merupakan salah satu keunggulan
Asuransi Syari’ah. Dalam hal ini kita dapat bertanya secara komparatif antara
asuransi konvensional dengan asuransi syari’ah. Pernahkah terjadi dana asuransi
bertambah nilainya. Hanya diasuransi syari’ah yang bakal terjadi. Asuransi
lainnya jelas tidak sama sekali. kedua, bahwa pemegang polis
sewaktu-waktu, karena alasan tertentu tak dapat melanjutkan hubungan dengan
lembaga asuransi syari’ah, sehingga secara sepihak ia memutuskan hubungan
dengan pihak asuransi syari’ah. Pemutusan hubungan ini tidak menyebabkan
dananya hangus. Ia sebagai pemegang polis, berhak dan wajib hukumnya untuk
mendapatkan kembali dana yang diasuransikan. Memang tidak seutuhnya (100%) dana
yang telah diasuransikan itu, akan dikembalikan. Sebab dana pemegang polis akan
dikurangi dana tabarru (dana kebijakan). Dan harus dicatat pula, bahwa
pemegang polis tetap mendapatkan dana tambahan dari bagi hasil premi yang telah
disetornya. Meski terjadi sedikit pengurangan, tapi, pengembalian itu jauh
lebih baik dari sistem asuransi konvensional yang menghanguskan secara total
dana pemegang polis. Selanjutnya penting dicatat, bahwa praktik asurasi Islam
terbebas dari praktik-praktik yang diharamkan.
Asuransi Kerugian
Syariah
Dalam
praktek asuransi kerugian syariah, pengembalian sebagian premi ke nasabah dalam
bentuk surplus sharing sekilas mirip dengan mekanisme dalam asuransi
konvensional yang dikenal dengan istilah “No Claim Discount (NCD)â€.
Sebagai contoh, seorang pemegang polis asuransi kendaraan di sebuah perusahaan
asuransi konvensional akan mendapatkan discount pada saat polis tersebut
kembali diperpanjang di tahun berikutnya (dengan syarat selama masa
pertanggungan tidak mengajukan klaim). Dari kacamata asuransi syariah,
mekanisme discount seperti ini tentu saja berbeda dengan mudharabah karena NCD
hanya diberlakukan apabila si pemegang polis hendak memperpanjang polisnya.
Dalam asuransi syariah, hak mudharabah tetap dibayarkan kepada peserta meskipun
ia tidak memperpanjang polis. Dengan demikian, NCD dan bagi hasil bisa
diterapkan sekaligus di asuransi syariah, namun tidak bagi asuransi
konvensional.
Karena jangka
waktu pertanggungan untuk produk-produk asuransi kerugian (misalnya asuransi
kebakaran, kendaraan bermotor, kecelakaan diri, dan lain-lain) biasanya berlaku
untuk periode satu tahun maka produk ini tidak mengandung unsur tabungan (non
saving) sehingga seluruh premi yang terkumpul akan dimasukkan ke dalam satu
pool/fund untuk kemudian dikelola oleh perusahaan berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Dari total dana ditambah hasil investasi dan dikurangi beban-beban
asuransi (komisi agen, premi reasuransi, klaim, dan lain-lain), apabila
kemudian terdapat surplus maka surplus tersebut akan dibagihasilkan antara
peserta dan perusahaan dengan nisbah yang sudah ditentukan di awal perjanjian.
Daftar Pustaka :
1. Bank Syariah, Suatu Pengenalan
Umum,Muhammad Syafii Antonio, Tazkia Institute, Jakarta, 2000.
2. Konsep dan Eksistensi Bisnis
Asuransi Syariah di Indonesia,Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ,
Jurnal AAMAI Tahun VII No.12, 2003.
3. Profit Sharing for General Takaful,www.takaful-malaysia.com.
4. Takaful “An Option To
Conventional Insurance A Malaysia
Model,Assoc. Prof. Yon Bahiah Wan Aris, Faculty of Business
Management Universiti Teknologi MARA, Malaysia.
5. Mudhorobahâ
Ikhwan Abidin Basri, MA, www.tazkia.co.id
6. (Sumber: Majalah ReInfokus April 2006)
perdagangan/414-asuransi-syariah-asuransi-taqawun-vs-asuransi-konvensional.html
9.www.google@yahoo.com